Selasa, 22 April 2014

Pendakian gn. Butak (2868 mdpl) part I - pesona sabana yang tersembunyi ..........


Tulisan ini adalah upaya berbagi pengalaman mengenai jalur pendakian gunung Butak via dusun Seruk desa Tuyumerto , yang memang masih belum banyak diketahui dan dikenal oleh para penggiat alam. Semoga bermanfaat ..... ! 

Bermula dari pendakian bersama di Gn. Lemongan - Lumajang tanggal 29-30 Sept 2012 yang lalu , satu minggu kemudian Mas Hendrik - teman yang belum lama saya kenal dan tapi punya pengalaman berpetualangan di gunung cukup banyak , menawari saya untuk mendaki gunung Butak , yang tidak terlalu jauh dari Surabaya. Saya juga baru kenal dengan nama gunung ini , di daerah mana gunung ini ? Untuk menyakinkan, saya coba juga lihat di peta dan memang ada nama gunung Butak itu tertulis di peta Jawa Timur.

Bagi kebanyakan orang umumnya dan para penggiat alam khususnya , mungkin belum banyak yang mengenal gunung Butak ini. Gunung ini tidak memiliki kawah atau bisa dikatakan gunung mati . Puncak gunung Butak (2868 mdpl) adalah salah satu dari beberapa puncak yang ada di jajaran pegunungan PUTRI TIDUR , dinamakan demikian karena bentangan pegunungan yang meliputi wilayah kabupaten Blitar dan kabupaten Malang ini layaknya seperti seorang putri yang sedang tidur. Dengan luasnya bentangan pegunungan itu , maka ada beberapa jalur pendakian untuk mencapai puncak gunung Butak ini , yaitu :
  1. Dari desa Semen - perkebunan teh Sirah Kencong kec. Wlingi Kab. Blitar
  2. Dari pesarean gunung kawi - Wonosari Kab. Malang
  3. Dari dusun Princi dusun Princi desa Gading Kulon Kec. Dau , Kab. Malang
  4. Dari dusun Seruk Desa Tuyumerto - Pesanggrahan , Batu.

Masing-masing jalur pendakian ini memiliki keistimewaan dan variatif jalur / trek serta keanekaragaman pemandangan yang berbeda. Kebetulan jalur yang kita pilih adalah jalur dari dusun Seruk Desa Tuyumerto - jalur yang menurut saya mudah transportasinya dan tentu saja jarak tempuh ke kota Batu tidak terlalu jauh dari kota Surabaya. Hingga satu hari menjelang keberangkatan , banyak teman-teman yang saya hubungi berhalangan ikut karena berbenturan dengan acara yang lain. Akhirnya ,  hanya kami berdua , saya dan mas Hendrik S. Durgasatria yang benar-benar siap melakukan trip spesial ini.


Sabtu , 13 Oktober 2012

Setelah sholat subuh , saya bergegas ke stasiun Wonokromo untuk mengejar jadwal KA ke Malang paling pagi , tapi sayang ticket KA Penataran ke Malang minggu pagi itu telah habis terjual , akhirnya saya harus rela naik bus dari terminal Bungurasih , menyusul Mas Hendrik yang sudah naik KA dari stasiun Waru. Sekitar pukul 9 pagi , saya sampai di terminal Ladungsari Malang , sedangkan mas Hendrik sudah menunggu saya sekitar 15 menit yang lalu. Kami sarapan pagi dan re-packing ulang sekalian beli nasi bungkus untuk bekal makan siang. Setengah jam kemudian , kami melanjutkan perjalanan dengan berpindah ke bus mini Puspa Indah jurusan Jombang. Di pertigaan jalan menuju Pesanggrahan-Puncak Panderman, dekat minimarket Indomaret kami turun , menunggu ojek yang siap mengantar kami ke dusun Seruk - Tuyumerto. 

Saat kami menunggu ojek muncul, tak sengaja kami bertemu dengan 3 orang teman dari Cansabalas kota Batu, yang baru saja turun dari gunung Panderman, mereka bertiga mohon maaf karena tidak bisa menemani kami.  Kami juga bisa memaklumi karena mereka baru saja turun gunung dan kami juga tidak sempat mengabari mereka tentang rencana kami ini . Tapi kami sempat bertanya kepada mereka mengenai jalur dan petunjuk yang ada menuju gunung Butak ini dan mereka memberikan banyak informasi yang kami butuhkan.

Sebenarnya , kami berdua belum pernah sama sekali ke gunung Butak ini , hanya  berdasarkan hasil browsing di Internet dan itupun informasi mengenai jalur pendakian ke gunung Butak via dusun Seruk Tuyumerto ini tidak terlalu banyak. Berbekal keberanian dan keyakinan serta pengetahuan yang kami punyai , kami bertekad meneruskan trip ini. Bismillah .....

Jam 10.45 , kami tiba di rumah Bp. Mujiono di dusun Seruk Desa Tuyumerto - rumah yang berfungsi sebagai pos perijinan baik yang mau mendaki gn. Panderman maupun ke gn. Butak. Siang itu , pos perijinan nampak kelihatan sepi , hanya kami berdua yang baru datang dan menurut Bp. Mujiono , baru nanti menjelang maghrib , banyak pendaki yang datang ke pos perijinan dan kebanyakan para pendaki itu mendaki ke gunung Panderman dibanding mendaki ke gunung Butak. Setelah melapor dan mencatat tujuan pendakian , tepat jam 11 siang , kami berjalan meninggalkan pos perijinan. 



Rumah Bp. Mujiono yang merangkap sebagai pos perijinan
dan tempat penitipan sepedamotor 

Hanya kami berdua saja yang terdaftar mendaki ke gunung Butak siang hari itu.  Cuaca panas mengiringi kami melangkah di trek awal berupa jalan ber-paving dan tak lama kemudian jalan pun berubah menjadi jalan setapak. Baru 40 menit kami jalan, kami dibingungkan dengan sebuah persimpangan di daerah perkebunan penduduk , yang ke kiri jalurnya mulai menanjak atau ke kanan dengan jalur yang masih landai - melewati ladang penduduk. Kami sempat menelpon teman-teman di Cansabalas , tapi informasi yang kami terima juga kurang jelas.  Akhirnya kami memilih jalur ke kiri yang menanjak, lima menit setelah persimpangan , kami bertemu dan bertanya pada seorang penduduk yang tengah berladang di kebun , ternyata jalur yang kami pilih mengarah ke gunung Panderman. Kami disarankan kembali ke persimpangan tadi atau turun potong kompas membelah jalan ditengah kebun menuju jalan yang ada dibawah jalur yang kami lalui saat ini. Maka alternatif kedualah yang kami pilih untuk menghemat waktu.

Setelah 20 menit kemudian , kami kembali menjumpai sebuah persimpangan lagi. Ternyata kami sudah sampai di pos III. Tidak ada bangunan yang menunjukkan kalau ini sebuah pos III , tapi ada sebuah plat seng warna merah kecil bertulisan angka romawi III warna putih , yang terpaku di pohon besar di sebelah kanan jalur.

Persimpangan di dekat pos III
Kami istirahat sebentar dan sempat juga memasang tanda pita berwarna biru di pohon , sebelah jalan masuk hutan. Pos III juga merupakan batas antara perkebunan penduduk dan pintu masuk hutan lereng gn. Butak. Kami ikuti jalur ke kanan , jalan setapak menurun ke hutan. Tdk lama kemudian, jalur mulai menanjak dengan kemiringan 20-30 derajat hingga mencapai pucak punggungan, jalur kembali landai menembus hutan.


Setelah berjalan 35 menit, kami menemui persimpangan lagi , lurus atau  belok kanan . Kami menemukan ada beberapa tali yang terikat di ranting pohon yang mengarah jalur ke kanan dan kami tak lupa juga kami pasang tanda pinta biru yang sudah saya persiapkan sebelum berangkat. Jalurnya masih landai dengan semak yang lebat dikiri kanan jalur.  Berjalan 10 menit dari persimpangan kami berhenti di sebuah tanah datar , tidak terlalu luas , mungkin cukup untuk mendirikan 2 tenda.

Selepas tanah datar itu , jalur mulai menanjak cukup tajam dengan kemiringan 50-60 derajat , jalur yang betul-betul menguras tenaga. Baru 10 menit menapak tanjakan itu , kami sampai di pos IV. Memang , pos IV ini berada di tengah-tengah tanjakan dengan pohon besar sebagai tandanya , di pohon itu ada plat warna merah bertulisan angka romawi IV warna putih yang terpaku agak tinggi diatas pohon. Setelah saya amati di sekitar pos ini , saya jadi terkejut , karena tanaman sekitar pohon besar itu tampak hangus seperti habis terbakar. Saya jadi teringat berita di media  beberapa minggu yang lalu, mengenai kebakaran hutan yang menimpa lereng gunung Panderman. Ternyata bukan lereng gunung Panderman yang terbakar , tapi lereng gunung Butak-lah yang terbakar.  
  

Pos IV di tengah-tengah tanjakan
Semak-semak yang terbakar di sekitar pos IV

Kami mulai berjalan lagi menyusuri jalan setapak  di antara pohon dan semak yang habis terbakar dan masih tetap dengan treknya yang menanjak , melewati punggungan sebuah bukit. Perlahan kami berjalan sambil tetap orientasi medan. Apakah kami masih memungkinkan untuk meneruskan pendakian ini ? Saya dan mas Hendrik terus berupaya menemukan jalan setapak hilang dan kadang pula harus kerja keras menyingkirkan semak dan ranting yang hangus dan roboh menutupi jalur.

Setelah berjalan di jalur melipir di tepi jurang, kami dihadapkan dengan jalan setapak yang kurang jelas dan sebuah punggungan bukit yang hangus terbakar. Saat itu, ketika Mas Hendrik sudah terlebih dahulu berjalan mendaki punggungan bukit dihadapan kami , saya masih belum beranjak dari tempat saya berdiri karena saya masih ragu dengan jalur yang tengah mas Hendrik lalui. Saya coba orientasi medan di sekitar hutan itu , dan akhirnya saya menemukan lagi plat seng warna merah yang terpaku di pohon , di sebelah kanan tempat semula saya berdiri. Saya jadi berfikir , apakah plat seng warna merah itu merupakan penunjuk jalur menuju puncak Butak .. ? Segera saya panggil mas Hendrik yang tampak terengah-engah mendaki punggungan itu untuk segera turun kembali , saya sampaikan hal itu kepada mas Hendrik tentang petunjuk itu dan nampaknya mas Hendrik sepakat dengan saya.
Kita coba aja Pak Mur .. barangkali ada benarnya ...! Toh kita berdua sama-sama minim informasi dan ngak punya pengalamam sama sekali mendaki gunung ini ........ Itu yang disampaikan kepada saya setelah sharing tentang medan pendakian ini.

Mas Hendrik S. Durgasatria
Hendrik Sternfeuer Durgasatria, saya memanggilnya mas Hendrik , usianya tidak muda lagi , lebih kurang  berusia 39 tahun , 10 thn lebih muda dari usia saya. Tapi punya semangat yang tinggi tatkala menapaki jalan  setapak dan mendaki di lereng-lereng gunung. Dia adalah teman yang mempunyai obsesi yang menarik tentang gunung-gunung di Jatim ini. Gunung Butak ini memang tidak terlalu tinggi , tapi pesona alamnya punya daya tarik sendiri. Gunung ini tidak se-familiar seperti gunung-gunung lain di Jatim, mungkin karena memang ketinggiannya di bawah 3000 mdpl. Gunung ini memang jarang diketahui dan jarang pula didaki oleh para pendaki dan para penggiat alam tapi menyimpan pesona hutan dan sabana yang tidak kalah indahnya dengan gunung yang lain. Dari informasi mas Hendrik inilah saya jadi tertarik untuk ikut bergabung mencoba trip spesial ini.

Kami terus mendaki , berjalan menapaki jalan setapak yang tanahnya jadi hitam. Setelah berupaya mendaki jalan setapak di sebuah punggungan bukit,   kami tiba di ujung tanjakan dan ada tanah datar yang tidak terlau luas , mungkin bisa didirikan 2-3 tenda. Tidak ada tanda bahwa itu merupakan pos V,  karena menurut info yang disampaikan teman dari Cansabalas , pos V itu berada di persimpangan.  Jadi , kami masih belum sampai di pos V , akhirnya kami putuskan untuk istirahat sebentar. Waktu menunjukkan pukul 15.10 sore itu , hampir 4.5 jam kami berjalan tanpa banyak istirahat , dan sudah saatnya mengisi perut kami yang sudah keroncongan. 

Menikmati bekal yang kami bawa ...
Setelah cukup beristirahat , pukul 15.30 kami segera berkemas untuk melanjutkan kembali perjalanan. Selepas tempat istirahat tadi , jalan setapak sudah mulai landai dan memasuki hutan. Di sepanjang perjalanan menembus hutan ini, pemandangan yang kami lihat adalah pohon-pohon yang hangus terbakar dan menghitam di kiri kanan jalur pendakian, ngak bisa dibayangkan bagaimana hebat dan luasnya kebakaran yang melanda hutan di lerang gunung Butak ini. Dan kami masih melihat tanda berupa plat seng warna merah  dengan tulisan warnah putih yang terpaku di beberapa pohon sepanjang jalur pendakian. Jalur menuju Pos V ini masih cukup jelas walaupun pohon dan semak habis terbakar.
                                                                             

Istirahat sejenak , ditengah hutan terbakar ...
Sekitar pukul 17.00 , kami tiba di pos V, sebuah persimpangan dengan tanah datar yang tidak begitu luas dan sebuah pohon besar disebelah kiri jalur.  Dari pertigaan itu , terlihat jelas ada jalur turun ke kiri - jalur menuju lembah dan yang ke kanan adalah jalur menuju hutan dan puncak gunung Butak. Kami tidak berhenti lama di pos V ini , karena khawatir kemalaman dan kesulitan orientasi medan, akhirnya kami meneruskan perjalanan menuju pos VI. Jalur menuju pos VI ini , adalah jalur yang cukup sulit , banyak tantangan medan yang harus kami hadapi di tengah jalur pendakian.

Menjelang maghrib , sekitar pukul  17.30 kami berhenti dekat sebuah pohon miring yang tertahan pohon disebelahnya dan saya sempat ketiduran di tempat itu. Setengah jam , merasa agak lebih segar , kemudian kami meneruskan perjalanan , cuaca dan angin malam mulai menemani langkah kecil kami. Perlahan kami melangkah dengan diterangi cahaya lampu headlamp. Jalur sudah mulai menerobos semak dan ilalang yang tumbuh tinggi dan jalan mulai menanjak menuju punggungan bukit. Berapa lama kemudian , jalur berubah melipir naik turun di pingigir jurang dan kadang-kadang harus melompati pohon-pohon besar yang tumbang di tengah jalur . Hampir 1,5 jam kami dihadapkan dengan tantang medan yang cukup berat , jalan masih tetap masih naik turun . Akhirnya , kami memasuki kawasan hutan cemorokandang , yang banyak ditumbuhi pohon pinus. Perjalanan semakin berat , kondisi badan yang mulai lelah dan mata yang mulai tidak bisa menahan rasa kantuk.

Pukul 19.35 , akhirnya kami sampai juga di pos VI , di sambut hembusan angin kencang. Pos VI ini adalah pertemuan antara jalur dari desa Tuyumerto dengan jalur dari desa Princi - Dau , Malang. Tempatnya tidak seberapa luas , hanya cukup mendirikan 2 tenda dom saja . Karena kondisi badan kami berdua sudah mulai lelah dan kedua kaki kami juga sudah terasa berat untuk melangkah , kami paksakan juga untuk melangkah menuju sendang atau sabana. Tapi , baru 10 menit berjalan setelah pos VI , kami tak mampu meneruskan perjalanan , akhirnya kami mendirikan tenda di pinggir jalur ditengah-tengah hutan cemoro kandang. Tanpa sempat masak u/ makan malam karena rasa kantuk yang tidak bisa ditahan, akhirnya kami berdua tertidur pulas.


Minggu , 14 Oktober 2012

Alarm di HP saya berbunyi nyaring , masih pukul 4.30 pagi. Segera , saya menunaikan sholat subuh dan membangunkan mas Hendrik untuk siap-siap trek menuju sendang/sabana. Setelah sarapan mie instant dan minuman hangat , kami bergegas jalan. Kami hanya membawa logistik dan air minum secukupnya , sedangkan perlengkapan carrier dan lain-lain,  kami tinggal di dalam tenda. Pukul 6.15 , kami mulai bergerak menapaki jalan setapak yang menanjak dengan rumput ilalang yang tumbuh subur di kiri kanan jalur.  Cuaca cukup cerah dan angin berhembus sejuk.   


Cukup indah pemandangan yang bisa kita lihat dari jalur menuju sabana ini. Latar belakang Gn. Arjuno dan Gn. Welirang nampak berdiri kokoh dengan lautan awan putihnya dan dibawahnya adalah puncak gunung Panderman. 
Jalan setapak mulai serong ke kanan hingga di ujung kaki bukit di depan kami , kemudian jalan setapak berbelok kiri , melipir turun dibalik bukit dengan jurang yang dalam di sebelah kanan jalur. Setelah 40 menit berjalan , tibalah kami di pintu masuk sabana gunung Butak. Tampak kumpulan pohon Edlewis berdiri berjejer di sebelah kiri jalan setapak , seakan-akan menyambut kedatangan kami.


Sabana gn. Butak
Subhanallah .... Maha Suci Allah ... itulah yang terucap dari bibir saya , pesona sabana tersembunyi yang cukup luas membentang  , yang tidak kalah indahnya dengan pesona sabana gunung lain di Jatim.  Saya terus melangkah dengan pelan, memperhatikan dengan seksama sabana yang luas itu. Sebelah kiri jalur , ada sebuah bukit dengan puncaknya , saya tidak tahu puncak apa namanya . Dan sebelah kanan jalur terlihat jauh membentang punggungan bukit dengan kokohnya dan salah satu puncaknya adalah puncak gn. Butak. Sekitar pukul 7 pagi , kami sampai di lokasi camp - tempat datar yang agak luas yang mengelilingi sendang , tempat cukup strategis untuk mendirikan 5-6 tenda. Saat kami di sana tidak ada pendaki sama sekali yang nge-camp di sana , benar-benar sepi dan hening.


Lokasi camp dan sumber mata air 


Pancuran air sendang
Di dekat camp ini , ada sebuah sumber mata air yang ditampung di sebuah bak tidak terlalu besar . Kemudian dialirkan dengan sebuah pipa ukuran sedang ke cerukan yang lebih rendah , seperti pancuran air. Sumber air ini tidak pernah habis seperti di bulan Oktober ini. Masih di musim kemarau dan kering ini , sendang ini masih mengeluarkan airnya yang bening dan segar. Penduduk setempat ada menamakan sendang ini dengan nama Sendang Kanthil. Mata air ini dapat juga dikatakan sebagai mata air selamat datang karena letaknya yang merupakan mata air yang pertama dijumpai pada jalur pendakian dari kota Batu.


Sumber mata air yang lain  
Setelah sampai lokasi camp ini , kami sebenarnya juga bingung karena kami berdua memang belum pernah ke mendaki ke gunung ini sehingga kami juga tidak tahu jalur mana yang menuju puncak. Setelah membasuh muka dengan air sendang , kami mencoba orientasi medan dengan berjalan ke arah kanan dari sendang , berharap menemukan jalur menuju puncak. Kami tidak menemukan jalur yang jelas , karena di sekitar itu banyak ditumbuhi semak ilalang , tapi kami menemukan sumber mata air lain yang debitnya kecil.

Tidak menemukan hasil , kami berjalan kembali ke sendang Kantil lagi. Berjalan lagi mengikuti jalur di sebelah kanan lokasi camp yang mengarah ke sabana di balik lokasi camp. Menapaki bukit kecil , kami terus jalan setapak yang cukup jelas membelah di tengah-tengah sabana. Sekitar lima menit berjalan , kami menemukan jalan setapak yang mengarah ke kanan dari jalur utama. Kami ikuti jalan setapak itu dan akhirnya kami berhenti pada area tempat yang biasa penduduk melaksanakan ritual di gunung ini.


Tempat ritual di sabana ...
Tempat itu agak luas yang dikelilingi berupa pohon besar namun tidak ada seorangpun di sana. Ada sebuah gubuk kecil beratapan seng , mungkin tempat bermalam penduduk lokal yang akan melakukan ritual. Agak jauh di bekakang gubuk itu ada tempat yang biasa dilakukan untuk ritual. Tidak lama kami berada di sana , kemudian kami kembali ke jalur semula.

Mas Hendrik S. Durgasatria , teman seperjalanan ...
Setelah hampir 15 menit berputar-putar di tengah sabana dan tidak menemukan jalur , serta tidak ada penduduk atau pendaki yang bisa kami tanyai, kami putuskan kembali ke lokasi camp lagi .Walaupun tidak sampai puncak , kami masih bersyukur bisa menikmati indahnya sabana yang tersembunyi ini. Kami berdua sepakat untuk menjadwal kembali mendaki gunung Butak ini. Setelah beristirahat cukup , sekitar pukul 08.30 kami meninggalkan sabana melewati jalur semula ketika kami sampai di sabana. Tiba di lokasi kami mendirikan tenda , kami segera berkemas agar tidak kemalaman lagi di jalan. Waktu menunjukkan sekitar pukul 10 pagi , kami turun meninggalkan kawasan hutan pinus menuju pos VI. Di pos VI inilah , mas Hendrik sempat bertanya ke saya , jalur yang mana yang harus pilih , lurus dengan jalan setapak agak samar atau serong ke kanan dengan jalan setapak yang cukup jelas. Saya sempat bingung dan lupa mengingat jalur semalam yang kami lewati sampai di pos VI ini. Akhirnya disepakati , kami ambil jalur yang ke kanan.       


Jalan setapak dari arah pintu masuk sabana

Sabana gunung Butak yang indah .....

Setelah berapa lama , jalan setapak yang semula landai berubah dengan turunan curam.  Sudah hampir satu jam kami menuruni jalan setapak , kami tidak menemukan pos V , tapi yang kami temui adalah jalur yang rusak , berdebu dan sangat curam. Sudah terlalu jauh dan sudah kepalang tanggung , akhirnya kami tetap mengikuti jalur turun ini. Saat istirahat di tempat yang agak landai , kami sempat berdiskusi dengan jalur yang kita lalui , mas Hendrik mengatakan pada saya , bahwa kita berdua telah salah ambil jalur turun , jalur yang kita lalui saat ini , mungkin ini adalah jalur turun menuju dusun Princi Desa Gondanglegi , Batu.  Kami ikuti trek turunan ini hingga akhirnya bersebelahan dengan tebing tinggi di sebelah kanan jalur , diiringi derasnya suara gemercik air sungai di bawah lembah. Berarti sudah hampir mendekati air terjun Parangtejo.




Jalan setapak menuju dusun Princi
Sepuluh menit kemudian , akhirnya kami sampai di pertemuan jalur dengan jalan setapak yang menuju air terjun Parangtejo dengan menyebrangi sungai kecil. Kami beristirahat sebentar , mencoba merenggang otot kaki yang terasa tegang dan dengkul yang sakit. Kami berharap dusun terdekat sudah dekat namun ternyata masih cukup jauh sekitar 1 jam berjalan kaki dari pertemuan jalur itu , kata penduduk lokal yang kami temui di jalan. Kami melanjutkan menyusuri jalan setapak dengan kebun sayur dan tomat di kiri kanan jalan. Kondisi tubuh saya benar-benar letih saat itu dan beberapa kali saya minta berhenti untuk beristirahat, sementara itu kondisi mas Hendrik masih lebih baik dari saya , masih kelihatan bugar.

Akhirnya ada seorang penduduk yang turun membawa motor dan bersedia saya tumpangi sampai di dusun terakhir. Penduduk setempat yang motornya saya tumpang tadi mengatakan kalau dari desa terakhir menuju terminal Ladungsari masih jauh , ada lebih kurang 10-15 km dan tidak ada transportasi umum.  Alhamdulillah , akhirnya saya sampai juga di pertigaan jalan desa dan dengan bantuan penduduk tadi serta saya juga dapat ojek khusus untuk mengantar kami berdua ke terminal Ladungsari. Sekitar pk. 13.30 , kami diantar oleh 2 penduduk yang bersedia jadi ojek untuk kami berdua ke terminal. Tidak ada setengah jam kami sudah di terminal Ladungsari , lalu kami membayar ongkos ojek sesuai kesepakatan.  Selepas Ashar , setelah makan dan bersih-bersih badan , kami berdua naik angkot menuju terminal Arjosari kemudian berganti dengan bus menuju Surabaya.

Sebuah trip menarik dan mengesankan, yang masih menyisakan rasa penasaran dengan pesona puncak gn. Butak yang belum tercapai .....


Catatan  :
Rincian biaya yang dikeluarkan :
   1. Tiket KA Penataran Dhoho ke Malang Rp. 4.000,-/orang atau ongkos bus 
       Eko AC Sby - Malang Rp. 10.000,-/orang
   2. Angkot dari terminal Arjosari ke terminal Ladungsari Rp. 3.000,-/orang
   3. Bus mini Puspa Indah jurusan Malang-Jombang turun di pertigaan jalur 
       Panderman (Indomaret) Rp. 4.000,-/orang
   4. Ongkos ojek dari dusun Princi ke terminal Ladungsari Rp. 20.000,-/orang